Sunday, September 25, 2011

Why Must Hurry?



Anakku baru saja berusia 1 tahun beberapa minggu lalu. Tak ayal aku kembali mendapat 'pertanyaan' tentang kapan aku akan kembali bekerja kantor lagi.

"Anakmu sudah besar, sudah bisa ditinggal sama mbaknya. Kembali bekerja lagi saja, sayang karir mu".

"Ngapain dirumah? Suntuk. Kerja lagi aja, apply ke perusahaan A tuh, lagi buka lowongan".

"Hari gini, suami istri harus kerja cari uang mba. Nanti kalau terjadi apa-apa sama suami mbak bagaimana? Bagaimana menghidupi keluarga, anak mba nanti?".

"Kamu S2, lulusan universitas ternama, IPK tinggi, jangan di rumah aja. Sayang, mana enak minta uang sama suami. Enak punya uang sendiri".

"Tuh, si A, si B, si C, bisa tetap kerja kantor, anaknya di rumah sama babysitter. Bisa aja tuh, malah si A lagi hamil anak ke dua sekarang".


Dan segala macam pertanyaan dengan anak kalimat bernada sama, "kamu kerja lagi sana!"


Pak, Bu, Mas, Mba,
Dengan segala hormat, terima kasih atas perhatiannya. Tapi saya tidak sanggup, tidak mau, tidak bisa, tidak rela, melewatkan momen pertumbuhan anak saya.

Saya (dan suami) lah yang dengan kesadaran sendiri telah memohon, merajuk, merayu Tuhan dengan segala cara untuk mengkaruniai kami seorang anak. Dan alhamdulillah, Tuhan sudi mengabulkan permohonan kami tersebut dengan memberikan kami seorang anak perempuan yang luar biasa.

Apakah harus kami abaikan anak tersebut dengan memberi porsi waktu yang sedikit? Hanya bertemu pagi (itu pun kalau dia sudah bangun) dan malam (kalau dia belum tidur, dan saya tidak capai setelah berkutat dengan pekerjaan kantor dan menempuh macetnya jakarta).

Apakah harus saya tepiskan perjuangan hidup anak saya selama 24 hari dirawat di rumah sakit saat dia lahir prematur ke dunia? Dan perjuangan berbulan-bulan setelahnya dengan pemeriksaan darah rutin setiap minggu.

Apakah harus saya tinggalkan dia bermain dengan orang asing sepanjang hari, justru di saat dia sedang bertumbuh dan membutuhkan pendamping yang mengajarinya dengan penuh kasih sayang?

Apakah harus saya paksakan dia menyusui dari botol, sementara Tuhan mengkarunia saya payudara yang dapat menyusuinya?

Apakah uang yang saya hasilkan dari bekerja akan sanggup mengembalikan waktu anak saya yang hilang untuk tumbuh bersama ibunya?


Saya bukan ibu yang sempurna. Saya pun seringkali merasa lelah menjadi seorang ibu rumah tangga. Seringkali ingin kembali berpakaian rapi, cantik, bertemu orang-orang, kongkow di cafe, mall, bersosialisasi.

Tapi hati saya selalu menangis saat harus meninggalkan anak saya.
Menatap dia yang sedang tertidur pulas ketika saya sampai di rumah.
"Apa saja yang sudah saya lewatkan hari ini?"


Pak, Bu, Mas, Mba,
Saya tidak menyalahkan pilihan ibu lain yang memilih bekerja. Tidak. Setiap orang mempunyai alasan dan latar belakangnya sendiri.

Alhamdulillah, Tuhan mengkaruniai saya pasangan yang bertanggung jawab untuk menafkahi keluarga.
Alhamdulillah, Tuhan memberikan saya jalan untuk membuka usaha sendiri yang dapat saya kerjakan di rumah.
Alhamdulillah, Tuhan melapangkan jalan usaha saya sehingga saya dapat membagi rezeki ke beberapa orang.

Dengan segala kemudahan itu, haruskah saya kembali bekerja?



0 komentar:

 
;